Friday 6 November 2015

Shalat Jumat di Kampus

Pendahuluan

Jumat adalah salah satu hari istimewa Islam, memiliki segudang rahasia samawi yang tidak terjangkau oleh akal kita. Tonggak agama yang mengakar pada ritual shalat fardlu menjadi lebih sarat akan makna, ketika waktu ini menjadi hari istimewa dengan perintah menjalankan syiar shalat Jumat ditengah umat. Melalui sebuah ayat dari surat al Jumuah ayat 9, Allah menyampaikan perintah:
يَأيها الذيْنَ أَمَنُوا إِذَا نُودِى للصَّلاَةِ مِنْ يَومِ الجُمُعَةِ فَاسْعَوا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا البَيْعَ , ذَلِكْمُ خَيْرٌ لَكْم إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Shalat Jumat sebagai sebuah rutinitas ritual, menjadi penopang syiar yang efektif dalam membentuk sebuah tradisi jama’i, yaitu kenginan untuk berpegang pada tali Allah dalam rangka berjuang mengangkat panji-panji Islam.
Shalat Jumat ini dibebankan secara wajib (taklif) bagi mereka yang masuk katagori laki-laki, baligh, berakal, merdeka, bertempat tinggal dengan tanpa ada udzur syar'i (alas an dispensasi syariat). Taklif ini menurut madzhab Syafi'i, madzhab yang dianut mayoritas umat Islam Indonesia, adalah fardlu ain/kewajiban individu. Secara konkrit, perintah dalam redaksi ayat “fa'au ilaa dzikr alLah” (maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah) jelas menunjukkan kewajiban. Artinya, karena tujuan dari bersegera dalam ayat itu diperntahkan sebagai kewajiban, tujuannyapun tentu menjadi wajib. Artinya karena tujuan dari bergegas adalah shalat Jumat, berarti shalat Jumat juga menjadi wajib.
Beberapa syarat lain yang harus dipenuhi sebagai syarat sah dalam shalat Jumat mencakup empat hal :
  • Dilakukan secara total di waktu dzuhur.
  • Tempat pelaksanaan harus pada batas territorial sebuah pemukiman yang terdiri dari bangunan perumahan, baik berupa balad (di masa sekarang kira-kira seluas desa) atau hanya sebatas qaryah (kira-kira seluas dusun).
  • Tidak didahului maupun bersamaan dengan shalat Jumat yang lain dalam satu wilayah (balad ataupun qaryah). Hal ini selama tidak ada factor yang memperkenankan shalat Jumat di beberapa lokasi.
  • Dilakukan berjamaah oleh mereka yang berstatus penduduk tetap (mustauthin) dengan jumlah minimal 40 orang.
Para ulama madzhab menyepakati adanya jamaah sebagai syarat sah di dalam shalat Jumat. Kesepakatan ulama yang mensyaratkan 40 orang sebagai batas minimal jumlah jamaah yang mengikuti shalat. Argumentasi dari ketentuan ini adalah sebuah hadist yang menyatakan bahwa Nabi sewaktu melakukan shalat Jumat pertama kali adalah dengan jumlah jamaah yang sebanyak itu.
Berakar dari praktek Nabi dalam melakukan shalat Jumat dengan selalu berjamaah, serta lokasi yang digunakan pasti di dalam kota dan menetap pada satu masjid, muncullah beragam pemahaman, apakan hal itu harus diadopsi secara tekstual dan menyeluruh atau kisi-kisi maknawinya saja yang perlu diterjemahkan. Hal ini berdampak pada tata hukum baku, tentang diperkenankannya shalat Jumat lebih dari satu tempat. Versi yang mendasarkan pada realita di jaman Nabi, tegas mengatakan tidak boleh karena yang dilakukan Nabi bersifat dogmatif dan harus diadopsi secara total. Versi ini merupakan pendapat Madzhab Syafii yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia.
Poin permasalahan penyelenggaraan Jumat di sekolah adalah sebagai berikut:
Posisi sekolah yang berada disuatu wilayah desa yang sudah ada masjidnya
Keberadaan sekolah yang berada disuatu wilayah desa yang sudah ada masjid yang menyelenggarakan shalat Jumat, menimbulkan taadud al Jumat (banyaknya penyelenggaraan Jumat) dalam satu wilayah.
Hasil penelitian para ahli sejarah menunjukkan bahwa sepanjang masa kenabian Rasulullah SAW dan kepemimpinan Khulafa' al Rasyidin, pelaksanaan ibadah Jumat tidak pernah dilaksanakan kecuali di dalam Masjid Jami (satu lokasi). Dalam perjalanan kepemimpinan mereka, tidak pernah ada statement atau perilakuk yang menyalahkan atau menyetujui gagasan Jumat lebih dari satu dalam sebuah kawasan (desa atau dusun). Dari sinilah kemudian muncul pemahaman berbeda; apakah hal ini merupakan ajaran fi'li (praktek) yang bersifat dogmatis dan harus diadopsi secara total ataukah cukup dipahami makna yang tersirat dimana saat itu keadaannya sangat kondusif).
Mayoritas ulama Syafii berpendapat bahwa hal ini bersifat dogmatis, sehingga dalam satu desa seharusnya hanya ada satu Jumat, kecuali ada alasan tertentu yang dapat diterima syariat. Alasan utama yang biasanya digunakan sebagai dasar pembolehan pendirian Jumat lebih dari satu dalam sebuah wilayah adalah mashaqqah (tingkat kesulitan tertentu). Seperti terjadinya konflik yang menimbulkan usr al ijtima' (sulitnya dikumpulkan) atau factor kesulitan yang terdapat dalam jauhnya jarak tempuh menuju masjid. Meski keduanya memiliki tingkat kesulitan yang berbeda, tetapi masih layak untuk dijadikan alasan bolehnya taadud al Jumat karena keduanya masih termasuk dalam tataran mashaqqah la tuhtamal ‘adatan (tingkat kesulitan diluar batas kemampuan). Sulitnya memperluas masjid karena lahan masjid berada diperkampungan yang padat, atau semakin banyaknya jumlah penduduk, juga disebut sebagai salah satu factor pembolehan terjadinya taadudul Jumat.
Yang menjadi permasalahan kemudian, apakah orientasi “mendidik” sebagaimana seringkali menjadi alasan penyelenggaraan shalat Jumat di sekolah itu juga termasuk unsur mashaqqah yang memperbolehkan taadud al Jumat? Mengawali pembahasan ini, ada baiknya kita menyimak nash Hamish Sharh Sulam Taufiq halaman 25-26 berikut ini:
وَمَنْ إِنْتَقَضَ وُضُوؤُهُ حَرُمَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالطَّوَافُ وَحَمْلُ المُصْحَفِ وَمَسُّهُ إِلاَّ لِلصَّبِى لِلدِّرَاسَةِ...
Orang yang batal wudlunya maka haram atasnya menjalankan shalat, thawaf, membawa al Quran/mushaf dan menyentuhnya kecuali bagi anak kecil untuk belajar.
Rasulullah pernah menulis surat kepada masyarakat Yaman yang di dalamnya terdapat pernyataan:
لاَيَمَسُّ القُرْآنَ إِلاَّطَاهِرٌ 
Tidak diperkenankan menyentuh al Quran kecuali orang yang dalam keadaan suci.
Hadits ini menguatkan ayat al Quran dalam surat al Waqiah yang menyatakan:
لاَيَمَسُّهُ إِلاَّ المُطَهَّرُونَ. 
Ketentuan hukum tentang larangan menyentuh al Quran bagi orang yang tidak suci sangatlah jelas. Namun Imam Abdullah Ibn Husein dalam Hamish Sharh Sulam Taufiq menyatakan bahwa larangan itu dikecualikan untuk belajar. Dari sini dapat kita pahami bahwa pendidikan atau pembelajaran dapat menjadi illat/alasan hukum untuk melanggar ketentuan yang semestinya. Hanya saja kita tidak bisa tergesa-gesa menyimpulkan bahwa masalah Jumat ini bisa dijalankan dengan menggunakan analogi hukum/qiyas masalah menyentuh al Quran.
Untuk dapat menganalogi hukum, beberapa variable atau illat dari hukum asal dan masalah yang dicarikan keputusan hukum harus sama. Beberapa variable diantara dua masalah tersebut diantaranya adalah:
  • Variable dari hukum asal
    • Larangan menyentuh mushaf bagi yang tidak memiliki wudlu
    • Memegang/menyentuh mushaf bukan kewajiban yang harus dijalankan dalam tempo waktu cepat. Islam menekankan keharusan mampu membaca al Quran tanpa ada batasan waktu.
    • Pembolehan melanggar larangan menyentuh bagi anak kecil yang belajar.
  • Variabel dari masalah penyelenggaraan Jumat di sekolah
    • Larangan menyelenggarakan Jumat lebih dari satu dalam satu desa.
    • Shalat Jumat merupakan kewajiban yang harus segera ditunaikan.
    • Shalat Jumat hukumnya wajib bagi laki-laki yang sudah dewasa.
Dari beberapa variable yang sudah diurai diatas, maka kita dapat melihat apakah kita bisa menganalogkan pembolehan menyentuh al quran bagi anak kecil untuk belajar dengan pembolehan penyelenggaraan shalat Jumat disekolah untuk pembelajaran. Bila kita mencoba menggabungkan variable-variabel diatas; belajar al Quran merupakan kewajiban yang dapat dilakukan tertunda. Sedang shalat Jumat adalah kewajiban yang harus segera ditunaikan bagi lelaki yang sudah baligh.
Untuk menganalogkan kedua masalah ini, ada ketidak sesuaian dari variable yang ada, yaitu pembolehan melanggar pada masalah menyentuh mushaf hanya untuk anak kecil yang belajar. Kewajiban dapat membaca al Quran dengan baik bukan kewajiban yang harus segera ditunaikan artinya dapat berjalan pelan-pelan. Sementara itu, shalat Jumat merupakan kewajiban yang harus segera ditunaikan. Bagi mereka yang dewasa, shalat Jumat bukan lagi pada stadium belajar tetapi sudah pada tataran diwajibkan.
Melihat hubungan antar illat/variable yang tidak sesuai, maka alasan pembelajaran dalam masalah penyelenggaraan shalat Jumat di sekolah tidak dapat dibenarkan. Terlebih pembelajaran dapat dijalankan bahkan langsung bisa dijalankan di masjid. Bahkan nilai lebih pembelajaran di masjid adalah siswa dapat belajar berinteraksi dengan masyarakat.
Keharusan Jumat dilaksanakan dan dihadiri oleh minimal 40 orang penduduk tetap.
Hampir seluruh kitab fiqh menjelaskan bahwa syarat minimal mendirikan Jumat adalah harus dihadiri oleh minimal 40 orang penduduk desa/dusun. Yang dimaksud penduduk ini, bukan orang yang kost atau menetap sementara didesa itu, atau orang diluar desa yang masuk pada desa itu.
Dalil-dalil yang memperkuat hujjah ini adalah :
Hadits Nabi Muhammad SAW
أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ فِى المَدِيْنَهِ وَلَمْ يَنْتَقِلْ أَنَّهُ جَمَعَ بِأَقَلٍّ مِنْ أَرْبَعِيْنَ
Sesungguhnya Rasulullah SAW, berjamaah (jumat) di Madinah dan tidak pernah diriwayatkan bahwa sesungguhnya Rasulullah berjamaah (jumat) kurang dari 40 orang.
Keterangan sahabat Jabir RA
مَضَتْ السَّنَةٌ أَنَّ فِى كُلِّ أَرْبَعِيْنَ فَمَا فَوقَهَا جُمْعَةً
Telah lewat beberapa tahun, bahwa Jumat didirikan oleh 40 orang atau lebih.
Keterangan sahabat Ka'ab Ibn Malik
أَوَّلُ مَنْ صَلَّى بِنَا الجُمْعَةٌ فِى بَقِيْع الخَصْمَاتِ أَسْعَدْ بِنْ زَرَارَةَ وَكُنَّا أَرْبَعِيْنَ.
Orang pertama yang shalat Jumat denganku di Baqi' al khasman adalah As'ad Ibn Zararah dan kami bersama 40 orang. HR. Ibn Hibban dan Baihaqi
Kifayatul Akhyar Juz 1 halaman 148 menjelaskan 40 orang yang dapat menjadi pendukung keabsahan pendirian shalat Jumat :
وَاعْلَمْ أَنَّ شَرْطَ الأَرْبَعِيْنَ الذُّكُورَةُ وَ التَّكْلِيْفُ وَالحُرِّيَّةُ وَالإِقَامَةُ عَلَى سَبِيْلِ التَّوَطُّنِ لاَيَظْعَنُونَ شِتَاءً وَلاَصَيْفًا إِلاَّ لِحَاجَةٍ فَلاَيَنْعَقِدُ بِالإِنَاثِ وَلاَ بِالصِّبْيَانِ وَلاَبِالعَبِيْدِ وَلاَ بِالمُسَافِرِيْنَ وَلاَ بِالمُسْتَوطِنِيْنَ شِتَاءً دُونَ صَيْفِ وَعَكْسُهُ.
Ketahuilah! Adapun syarat 40 orang itu, haruslah laki-laki, sudah mukallaf/baligh, merdeka (bukan budak) bermukim dalam arti menetap, tidak berpindah pada musim dingin atau panas kecuali untuk hajat. Maka tidaklah sah shalat Jumat dengan (melengkapi jumlah 40) bersama perempuan, anak kecil, hamba sahaya, orang yang bepergian (kedaerah diselenggarakannya Jumat), juga tidak dapat (dilengkapi oleh) penduduk musiman yang berpindah pada musim tertentu…
Dari keterangan ini maka jelaslah bahwa setiap pendirian Jumat harus dihadiri oleh penduduk setempat minimal 40 orang. Pendirian Jumat yang didirikan oleh 40 orang yang berasal dari berbagai wilayah dan bukan dari wilayah dimana Jumat diselenggarakan maka Jumatnya tidak sah, sebagaimana dijelaskan lebih lanjut dalam Kifayatul Akhyar juz 2 halaman 148 :
إِذَا تَقَارَبَ قَرْيَتَانِ فِى كُلٍّ مِنْهُمَا دُوْنَ أرْبَعِيْنَ بِصِفَةِ الكَمَالِ وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَبَلَغَوا أَرْبَعِيْنَ لَمْ يَنْعَقِدُ بِهَمْ الجُمْعَةُ وَإِنْ سَمِعَتْ كُلُّ قَرْيَةٍ نِدَاءَ الأُخْرَى لأَنَّ الأَرْبَعِيْنَ غَيْرُ مُقِيْمِيْنَ فىِ مَوضِعِ الجُمْعَةِ واللهُ أَعْلَمْ.
Ketika berdekatan dua buah desa, tiap-tiap dari dua desa itu tidak ada 40 orang dengan sifat yang sempurna (yang memenuhi syarat pelengkap Jumat), seandainya mereka berkumpul, kemudian mencapai 40 orang, maka Jumat yang mereka dirikan tetap tidak sah! Meskipun tiap-tiap dari penduduk desa itu mendengar panggilan dari yang lain. Karena 40 itu dilengkapi oleh orang yang tidak bermukim dan menetap dari desa dimana Jumat itu didirikan.
Kesimpulan
Dari beberapa paparan diatas, maka Jumat yang didirikan di sekolahan (SMP atau SMA) yang tidak melibatkan penduduk setempat sebanyak 40 orang dan jarak tempuh dengan masjid lain yang mendirikan Jumat kurang dari 1.6 km, maka Jumatnya tidak sah. Untuk jarak kurang dari 1.6 km dapat pula menjadi sah bila ada kesulitan mengumpulkan dalam satu masjid sebagaimana penjelasan diatas. Shalat Jumat dengan alasan untuk mendidik dapat dibenarkan bila Jumat tersebut didirikan dilingkup Sekolah Dasar atau sebagian siswa SMPyang belum baligh, karena Jumat bagi mereka belum merupakan kewajiban. Sementara untuk sebagian siswa SMP yang sudah baligh dan siswa SMA maka tidak lagi dapat menggunakan alasan mendidik karena mereka sudah memiliki kewajiban, dan tidak pada porsi belajar lagi.

Referensi

Imam Taqiyyuddin ibn Abi Bakar,
tt, Kifayatul Akhyar, Surabaya, al Hidayah, halaman 145-147.
Qomaruzzaman (pengantar),
2003, Paradigma Fiqh Masail Kontekstualisasi Hasil Bahtsul Masail, Kediri, PP. Lirboyo, halaman 59.
Ibid,
halaman 60.
Ibid,
halaman 61, baca juga Mizan Kubro juz 1 halaman 209
وَمِنْ ذَلِكَ قَولُ الأئِمَّةِ الأَرْبَعَةِ أَنَّهُ لاَيَجُوزُ تَعَدُّدُ الجُمْعَةِ فِى بَلَدٍ إِلاَّ إِذَا كَثُرَ وَعَسَرَ إِجْتِمَاعُهُمْ

Wednesday 4 November 2015

Sebab dan Tujuan Perang dalam Islam

Sejarah mencatat banyak peperangan yang dilakoni oleh kaum muslimin. Dari sini, para orientalis memancing di air keruh, mencari celah untuk memojokkan Islam dan kaum muslimin. Sayangnya, respon umat Islam sangat lemah, terutama dari kalangan pemuda. Mereka dengan mudah menelan informasi tersebut, tidak kritis, dan malas belajar agama dan mengkaji sejarah. Akhirnya, para pemuda Islam tersebut terpengaruh dan terbawa arus. Mereka jadi kecewa dengan pendahulu-pendahulu mereka. Malu terhadap sejarah perjalanan agama mereka. Hingga akhirnya mereka meninggalkan agama. Tidak sedikit yang berdiri bersebrangan dan mengkampanyekan anti Islam dan syariatnya. Semoga Allah melindungi kita dari yang demikian.
Perdamaian adalah asas dari ajaran Islam. Rasulullah  mengajarkan para sahabatnya agar tidak mengandai-andaikan peperangan dan permusuhan. Beliua  mengajarkan agar para sahabatnya memohon perdamaian dan keselataman. Sebagaimana sabdanya,
لاَ تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ ، وَسَلُوا اللَّهَ الْعَافِيَةَ ، فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاصْبِرُوا
“Janganlah kalian mengharapkan bertemu dengan musuh (perang), tapi mintalah kepada Allah keselamatan. Dan bila kalian telah berjumpa dengan musuh, bersabarlah.” (HR. Bukhari no. 2966 dan Muslim no. 1742).
Realitanya peperangan adalah keniscayaan. Fitrah manusia cinta kedamaian, namun praktiknya mereka selalu berselisih dan bermusuhan. Karena itu, untuk menghadapi realita ini beliau  tekankan, bila terjadi peperangan, bersabarlah, hadapi, dan jangan lari sebagai seorang pengecut.
Sebab Islam Memerintahkan Perang
Seorang muslim dididik dengan akhlak yang mulia melalui Alquran dan sunnah. Kedua wahyu itu selalu mengedepankan solusi perdamaian dan berupaya menghindari peperangan dan pertumpahan darah. Lihatlah ayat-ayat tentang perang. Izin berperang barulah muncul di saat umat Islam memang dihadapkan pada kondisi tempur. Dalam kondisi tersebut umat Islam harus membela diri dan agama mereka. Allah  berfirman,
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ * الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلاَّ أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللهُ
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”…” (QS:Al-Hajj | Ayat: 39-40).
Dalam ayat ini, penyebab disyariatkannya perang sangat jelas sekali. Yaitu, karena umat Islam dizalimi dan diusir dari negeri mereka tanpa alasan yang dibenarkan.
Allah  berfirman,
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْـمُعْتَدِينَ
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS:Al-Baqarah | Ayat: 190).
Imam al-Qurthubi mengatakan, “Ayat ini diturunkan bertutur tentang perang. Tidak ada perselisihan bahwa perang pada awalnya dilarang. Yaitu pada masa sebelum hijrah. berdasarkan ayat:
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik.” (QS:Fushshilat | Ayat: 34).
Juga firman Allah,
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ
“maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka.” (QS:Al-Maidah | Ayat: 13).
Dan ayat-ayat lainnya yang serupa, yang diturunkan di Mekah. Ketika umat Islam hijrah ke Madinah, barulah ada perintah untuk berperang (al-Jami’ al-Ahkam Alquran, 1/718).
Perhatikan penjelasan menarik dari Imam al-Qurthubi dan dalil-dalil yang beliau bawakan. Dari penjelasannya, kita dapat memahami dan menyadari asas dari agama Islam adalah kedamaian dan menempuh jalan-jalan untuk damai. Seperti membalas sikap buruk dengan tidak melayani, memaafkan, bahkan membalas dengan yang lebih baik. Lalu mengapa Islam mengjarkan berperang? Karena memang kondisi menuntut berperang. Karena saat itu perang menjadi solusi. Sebagaimana dokter mengambil langkah operasi atau amputasi, karena saat itu operasi dan amputasi menjadi solusi. Jika tidak, maka dokter hanya menyarankan pasiennya istirahat atau minum obat.
Setelah perintah perang turun, nilai-nilai mulia pun tetap diperhatikan. Ada normanya: وَلاَ تَعْتَدُوا (jangan kamu melampaui batas), إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْـمُعْتَدِينَ (Allah benci orang-orang yang melampaui batas). Allah  tidak menyukai permusuhan, walaupun terhadap non muslim. Inilah ajaran kasih sayang dan nilai-nilai kemanusiaan.
Ada yang berkomentar, Islam memerintahkan berperang dan mengancam permaian berdasarkan ayat:
وَقَاتِلُوا الْـمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً
“dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya.” (QS:At-Taubah | Ayat: 36).
Benarlah kata para ulama, di setiap ayat yang dijadikan dasar argumen para penyebar syubhat dan kerancuan, dalam ayat itu pula terdapat sanggahan argumennya. Perintah perang disini terikat akan kondisi. Ada kata “sebagaimana”. Mengapa Islam memerintahkan memerangi semua orang-orang musyrik, karena semua orang tersebut memerangi umat Islam. Artinya, hanya semua yang memerangi yang diperangi. Yang tidak turut berperang, tidak boleh diperangi.
Dalam kondisi damai, memusuhi non muslim harus dengan alasan yang jelas. Misalnya orang non muslim menjarah, melakukan pembunuhan, mengambil hak seorang muslim, atau non muslim tersebut melarang umat Islam menyebarkan agamanya.
Ayat lainnya yang menegaskan adanya syariat berperang dalam Islam adalah:
أَلَا تُقَاتِلُونَ قَوْمًا نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ وَهَمُّوا بِإِخْرَاجِ الرَّسُولِ وَهُمْ بَدَءُوكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ ۚ أَتَخْشَوْنَهُمْ ۚفَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَوْهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi kamu? Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS:At-Taubah | Ayat: 13).
Ayat ini berkenaan dengan orang-orang Mekah yang memulai permusuhan terhadap umat Islam. Mereka telah menyebabkan Rasulullah  keluar dari Mekah. Mereka yang memulai terjadinya Perang Badr. Mereka pula yang telah membatalkan perjanjian damai di Hudaibiyah.
Jadi, penyebab perang dalam Islam sangat jelas. Karena orang-orang non Islam yang terlebih dahulu memerangi kaum muslimin. Hal ini juga yang terjadi pada peperangan-perangan di zaman Khulafaur Rasyidin.
Penaklukkan-penaklukkan umat Islam di berbagai wilayah dilatar-belakangi oleh tindakan ofensif orang-orang non Islam. Umat Islam tidak memerangi orang-orang yang tidak memerangi mereka.
Tujuan Perang
Dengan syariat perang ini, umat Islam bisa membela diri dan keluarga mereka. Mempertahankan agama dan wilayah mereka. Umat Islam dapat beribadah dengan tenang setelah sebelumnya orang-orang non Islam mengusiknya. Kemudian dakwah juga tersebar kepada seluruh manusia. Karena terbebas dari perbudakan kepada sesama makhluk –dengan menyembah mereka- adalah hak asasi setiap manusia. Dan Islam membebaskan manusia dari peribadatan kepada sesama makhluk.
Selain itu syariat perang juga mengajarkan kepada orang-orang non Islam agar menepati perjanjian yang telah disepakati bersama.
Sejarah Membuktikan
Bukti bahwasanya Islam berasaskan perdamaian dan peperangannya membawa nilai-nilai kemanusiaan adalah: Wilayah-wilayah yang dimasuki umat Islam melalui peperangan semula masyarakatnya adalah masyarakat non Islam. Setelah umat Islam masuk ke wilayah tersebut, mereka berbondong-bondong memeluk Islam. Padahal tidak ada dalam sejarah umat Islam melakukan pemaksaan apalagi pembantaian jika penduduk wilayah taklukkan tidak mengubah agama mereka.
Lihatlah Mesir, Palestina, Suriah, Jordania, Irak, Maroko, Tunisia, Turki, dll. yang semula dikuasai Romawi dan Persia, penduduknya menganut agama Nasrani dan Majusi, berubah menjadi masyarakat kaum muslimin.
Lihatlah siapa yang membatalkan dan mengkhianati perjanjian. Islam pun memberi pelajaran kepada mereka agar tidak curang terhadap perjanjian.
Oleh Nurfitri Hadi dalam kisahmuslim.com, edisi 4/11/15

Tuesday 3 November 2015

Syarat dalam Nikah

Para ulama sepakat hukum asal mengadakan syarat dalam akad nikah adalah sah dan boleh. Selagi tidak ada dalil yang melarang syarat tersebut maka syariat membolehkan. Namun dalam perjalanannya banyak sekali macam-macam syarat yang berkaitan dengan kaidah umum atau tujuan asal dari menikah atau hak-hak dalam pernikahan. Dari sinilah para ulama berbeda pendapat.
Sebelumnya perlu diketahui, bahwa ada perbedaan antara syarat nikah dan syarat dalam nikah, diantaranya sebagai berikut:
Pertama : Syarat nikah ditentukan oleh syariat Islam. Sedangkan syarat dalam nikah yang menentukan adalah salah satu dari dua pihak yang melakukan transaksi.
Kedua : Syarat nikah merupakan syarat sahnya suatu akad, berbeda dengan syarat dalam nikah yang bukan merupakan syarat sahnya suatu akad tetapi hanya syarat yang mewajibkan salah satu dari dua pihak yang bertransaksi.
Ketiga : Syarat nikah tidak bisa digugurkan, sedangkan syarat dalam nikah bisa digugurkan menurut kesepakatan kedua belah pihak.
Keempat : Syarat nikah semuanya benar dan berlaku, karena berasal dari syariah, berbeda dengan syarat dalam nikah, yang sebagiannya sah dan sebagian lainnya tidak sah serta tidak berlaku, karena yang meletakkan adalah manusia yang bisa benar dan salah.
Macam-macam Syarat Dalam Nikah
Para ulama berbeda pandangan dalam menjelaskan permasalahan ini, maka akan kami tuliskan pemaparan daring masing-masing madzhab.
Hanafiyah
Ulama Hanafiyah memandang ada dua macam syarat:
  1. Syarat Yang Sah
Yaitu syarat yang sesuai dengan konsekuensi nikah dan tidak bertentangan dengan hukum Islam. Maka wajib hukumnya bagi suami untuk melaksankan syarat ini. Jika suami enggan maka istri berhak untuk meminta cerai. Contoh dari syarat ini adalah persyaratan untuk disiapkan rumah pribadi setelah menikah, tidak tinggal bersama orang tua.
  1. Syarat Yang Batal
Yaitu syarat yang tidak sesuai dengan konsekuensi nikah dan bertentangan dengan hukum Islam. Status nikahnya tetap sah namun syarat tersebut tidak wajib dilaksanakan suami dan tidak ada hak bagi istri untuk meminta cerai jika suami tidak melaksanakan syarat. Contoh syarat ini adalah persyarat untuk menceraikan istri muda setelah dinikahi.
Pendapat Hanafiyah ini dapat kita rujuk pada referensi-referesi berikut: Addur al-Mukhtar 2/405, Tabyin al-Haqa’iq 2/148 dan Fathul Qadir 3/107.
Malikiyah
Ulama Malikiyah membagi syarat menjadi dua:
  1. Syarat Yang Sah
Syarat ini dibagi menjadi dua, yaitu syarat mubah dan syarat makruh. Syarat mubah adalah syarat yang sesuai dengan tujuan menikah dan tidak bertentangan dengan hukum Islam, seperti persyaratan untuk menafkahi istri. Adapun syarat makruh adalah syarat yang tidak berhubungan dengan akad nikah dan tidak bertentangan dengan tujuan nikah namun sedikit merugikan suami.Contohnya adalah persyaratan agar suami tidak poligami.
  1. Syarat Yang Batal
Adalah syarat yang tidak sesuai dengan tujuan menikah. Jika istri mensyaratkan syarat seperti ini maka akad nikah menjadi batal kecuali jika sudah digauli, maka akad nikah tetap sah namun syarat tidak wajib dilaksanakan. Contoh dari syarat ini adalah syarat agar suami lebih mendahulukannya daripada istri pertamanya.
Pendapat Malikiyah dapat kita klarifikasi pada rujukan-rujukan berikut: Al-Qawanin al-Fiqhiyah 1/118-220, Asy-Syarh Ash-Shaghir 2/384, dan Bidayatul Mujtahid 2/53.
Syafi’iyah
Ada dua macam syarat menurut madzab Syafi’i:
  1. Syarat Yang Sah
Adalah syarat yang sesuai dengan tujuan menikah seperti suami harus memberi nafkah ke istri. Atau seperti syarat yang tidak sesuai dengan tujuan menikah namun tidak berpengaruh pada keabsahan nikah seperti syarat agar istri harus makan lauk tertentu. Hukum syarat ini tidak wajib dilaksanakan, dan nikah tetap sah.
  1. Syarat Yang Batal
Adalah syarat yang tidak sejalan dengan tujuan menikah namun tidak merusak tujuan asal dari menikah. Seperti syarat agar istri tidak dipoligami. Hukum syarat ini tidak sah namun status nikah tetap sah. Dalil Syafi’iyah adalah hadis Nabi, yang artinya, “ Semua syarat yang tidak ada di dalam al-Qur’an maka batal”.
Adapun jika syarat tersebut bertentangan dengan tujuan menikah, misal syarat agar tidak menjimak istrinya siang hari, maka hukum nikahnya menjadi batal. Diantara syarat ini juga syarat agar suami/istri tidak saling mewarisi atau syarat tidak wajib menafkahinya.
Pendapat madzhab Syafi’i ini bisa kita temukan dalam literatur berikut; Mughnil Muhtaj 3/226 dan Al-Muhadzdzab 2/47.
Hanabilah
Ada tiga macam syarat menurut madzhab Hanabilah:
  1. Syarat Yang Sah
Adalah syarat yang sejalan dengan tujuan menikah atau tidak sejalan namun bermanfaat bagi salah satu pihak suami atau istri namun tidak ada dalil yang melarang dari syariat. Contoh dari syarat ini adalah syarat agar istri tidak dimadu. Hukum syarat ini adalah wajib dilaksanakan dan sah akadnya. Jika suami tidak melaksanakan maka istri berhak meminta cerai. Ulama Hanabilah berdalil dengan hadis yang artinya, “ Syarat yang paling berhak dilaksanakan adalah syarat dalam nikah” dan hadis “ Orang Islam harus menaati syarat mereka”. Adapun hadis “ Semua syarat yang tidak ada pada Al-Qur’an adalah batal”, maka maksudnya adalah syarat yang bertentangan dengan tujuan nikah atau bertentangan dengan hukum Islam.
  1. Syarat Yang Batal Namun Tidak Membatalkan Nikah
Misal syarat yang menyebabkan jatuhnya beberapa hak suami atau istri. Contonya syarat agar suami tidak boleh menjimaknya saat siang, atau syarat istri tidak berhak atas mahar.
  1. Syarat Yang Batal dan Membatalkan Nikah
Adalah syarat yang bertentangan dengan aturan umum dan tujuan nikah. Misal nikah mut’ah (kontrak) yaitu nikah dengan syarat dalam waktu sekian harus dicerai. Atau nikah syighar yaitu nikah dengan syarat maharnya adalah menikahkan perempuan lain.
Keterangan dari madzhab Hambali ini kita dapatkan dalam Al-Mughni 6/548 dan Kasysyaf Al-Qina’ 5/98.
Kesimpulan
Ulama sepakat akan kebolehan/keabsahan syarat yang sejalan dengan tujuan menikah dan mereka juga sepakat akan ketidakabsahan syarat yang tidak sejalan dengan tujuan menikah atau bertentangan dengan hukum Islam. Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah sepakat akan keabsahan syarat yang disukai misal syarat agar istri/suami bebas dari cacat. Mereka berselisih tentang hukum syarat yang tidak sejalan dengan tujuan menikah namun tidak bertentangan dengan akad nikah, seperti syarat agar istri tidak dimadu, istri tidak disuruh tinggal di luar kota asal.
Hanabilah berpendapat bahwa syaratnya sah dan wajib dilaksanakan.
Hanafiyah berpendapat syaratnya batal namun akad nikah sah.
Malikiyah berpendapat syaratnya tidak wajib dilaksanakan tapi boleh ditaati.
Syafi’iyah berpendapat syaratnya batal dan nikah tetap sah.
 Wallahu A'lam Bish Shawab
 Khaerul Anam, Lc.

Sunday 1 November 2015

Bertaqlid : Haram, Boleh atau Wajib?

A. Pengertian Taqlid

1. Bahasa

Kata taqlid (تقليد) dalam bahasa Arab berasal terbentuk dari dari tiga huruf asalnya, yaitu qa-la-da (قلد).
Dari segi bahasa, taqlid ini punya banyak makna. Di antaranya bermakna mengalungkan sesuatu ke leher, sebagaimana disebutkan dalam kitab Raudhatun Nadhir[1]
جَعَل الشَّيْءَ فِي عُنُقِ غَيْرِهِ مَعَ الإْحَاطَةِ بِهِ
Menjadikan sesuatu pada leher orang lain sehingga melingkari leher itu.
Sedangkan kata qiladah (قلادة) artinya adalah kalung atau ikatan yang mengikat leher (ما جعل في العنق). Dan ungkapan taqlildul-budni sebagaimana disebutkan dalam kitab Lisanul Arabbermakna :[2]
أَنْ يُجْعَلُ فيِ عُنُقِهَا شِعَارًا يُعْلَمُ بِهِ أَنَّهُ هَدْيٌ
Mengikatkan suatu tanda pada leher ternak agar diketahui bahwa ternak itu untuk dijadikan sembelihan.
2. Istilah
Sedangkan secara istilah, para ulama menyebutkan bahwa definisi taqlid adalah :[3]
الأْخْذُ فِيهِ بِقَوْل الْغَيْرِ مَعَ عَدَمِ مَعْرِفَةِ دَلِيلِهِ
Mengambil pendapat dari orang lain tanpa mengetahui dalilnya.
Dengan definisi ini, maka yang dimaksud dengan taqlid adalah ketika seseorang menjalankan perintah agama atau menerima fatwa dari seorang yang ahli di dalam ilmu syariah, dia menjalankannya tanpa mengetahui langsung dalilnya.
Namun karena yang memberitahu adalah orang yang memang ahli di bidangnya, tentu saja dia tahu pasti ada dalilnya, walaupun tidak tahu persis seperti apa dalilnya.
Selain definisi di atas, sebagian ulama membuatkan definisi taqlid dengan redaksi yang lain menjadi :
الْعَمَل بِقَوْل الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ حُجَّةٍ
Mengerjakan pendapat orang lain tanpa hujjah.
Yang dimaksud hujjah disini maksudnya sumber asli syariah yang telah disepakati seperti Al-Quran, As-Sunnah, dan Al-Ijma.
Maka merujuk kepada perkataan Nabi SAW yang sharih dan shahih, tidak dikatakan taqlid. Begitu juga bila merujuk kepada apa yang telah menjadi ijma' para ulama, juga tidak dinamakan taqlid.
Karena merujuk kepada sumber-sumber utama berarti merujuk kepada sesuatu yang statusnya adalah hujjah. Dan hal ini tidak dinamakan sebagai taqlid.[4]
Maka pengertian taqlid dari definisi ini adalah menjalankan suatu ibadah dari orang lain, tanpa merujuk sendiri ke sumber hujjahnya.
B. Hukum Bertaqlid : Khilafiyah di Antara Para Fuqaha
Pendapat umat Islam terhadap taqlid ini memang beragam. Sebagian kalangan dari umat Islam ada yang berpendapat bahwa taqlid itu hukumnya haram dan tidak boleh dilakukan. Dan ada juga kelompok lain yang tidak mengharamkan taqlid dan membolehkannya.
1. Pendapat Yang Mengharamkan Taqlid
Di antara mereka yang sering disebut-sebut mengharamkan taqlid antara lain Ibnu Abdil Barr, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani dan lainnya.
Ada beberapa dalil yang sejalan dengan pendapat mereka, di antaranya :
a. Allah Mencela Taqlid
Menurut mereka, Allah SWT telah mencela perbuatan taqlid di dalam Al-Quran, sebagaimana tertuang dalam ayat berikut ini :
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلاَ
Dan mereka berkata;:"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menta'ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan. (QS. Al-Ahzab : 69) 

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah  dan  Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan  selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS. At-Taubah : 31)
b. Para Imam Melarang Orang Bertaqlid Kepada Mereka
Di antara hujjah yang sering dipakai untuk melarang taqlid adalah klaim atas perkataan para imam dan mujtahid yang konon dikatakan telah melarang orang-orang bertaqlid kepada mazhab dan pendapat mereka.
Misalnya sering disebut-sebut bahwa Abu Hanifah dan Abu Yusuf pernah berkata :
لاَ يَحِل لأِحَدٍ أَنْ يَقُول بِقَوْلِنَا حَتَّى يَعْلَمَ مِنْ أَيْنَ قُلْنَاهُ
Tidak halal bagi seseorang untuk berpendapat dengan pendapat kami, hingga dia tahu dari mana kami berpendapat.
Al-Muzani di awal kitab Mukhtasharnya yang terkenal itu mengatakan :
اخْتَصَرْتُ هَذَا مِنْ عِلْمِ الشَّافِعِيِّ وَمِنْ مَعْنَى قَوْلِهِ مَعَ إِعْلاَمِهِ نَهْيَهُ عَنْ تَقْلِيدِهِ وَتَقْلِيدِ غَيْرِهِ
Aku meringkas kitab ini dari ilmu Asy-Syafi'i. Dan diantara makna perkataanya adalah larangan beliau untuk bertaqlid kepada dirinya atau taqlid kepada orang lain.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal juga berkata :
لاَ تُقَلِّدْنِي وَلاَ تُقَلِّدْ مَالِكًا وَلاَ الثَّوْرِيَّ وَلاَ الأْوْزَاعِيَّ وَخُذْ مِنْ حَيْثُ أَخَذُوا
Janganlah kalian bertaqlid kepadaku, dan jangan bertaqlid kepada Imam Malik, Ats-Tsauri atau Al-Auza'i. Tetapi ambil dari mana mereka mengambilnya.
2. Pendapat Yang Membolehkan Taqlid
Pendapat kedua mengatakan bahwa taqlid itu boleh dan tidak haram untuk dilakukan. Sebab ada banyak dalil yang membolehkannya, serta dilakukan juga oleh para shahabat, tabi'in dan para ulama. Bahkan orang awam yang tidak bisa berijtihad, mau tidak mau harus bertaqlid.
a. Perintah Allah Dalam Al-Quran
Perintah untuk bertaqlid disebutkan di dalam Al-Quran Al-Karim, khususnya perintah untuk bertanya kepada orang yang punya ilmu.
فَاسْأَلُوا أَهْل الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Tanyakanlah kepada ahli ilmu apabila kamu tidak mengetahui. (QS. An-Nahl : 43)
b. Taqlid Sesuatu Yang Mustahil Dihindari
Dalam prakteknya, disadari atau tidak, suka atau tidak suka, mengaku atau tidak mengaku, sebenarnya setiap kita pasti tidak akan pernah terlepas dari praktek bertaqlid.
Karena tidak setiap muslim mampu melakukan istimbath hukum sendiri. Dan tidak setiap muslim mengenal secara langsung dalil-dalil agama.
Padahal sebagai muslim, tidak mungkin meninggalkan beberapa ibadah mendasar, seperti bersuci, berwudhu', mandi janabah, bertayammum, shalat, puasa, berihram, tawaf, sa'i dan berbagai jenis ibadah lainnya.
Apalagi semua itu sudah terhitung wajib dilakukan ketika seseorang memasuki usia baligh. Dan usia baligh itu adalah usia yang terlalu dini untuk bisa menguasai semua dalil-dalil syar'i atas semua praktek ibadah yang dilakukan.
c. Para Shahabat dan Tabi'in Bertaqlid Juga
Kenyataannya tidak semua shahabat ridwanullahi alaihim punya kemampuan dalam melakukan ijtihad. Bahkan secara statistik bisa dijelaskan bahwa dari sekitar 124 ribu shahabat, yang punya kapasitas sebagai mujtahid terbatas sekali jumlahnya.
Ibnul Qayyim dalam I'lamul Muwaqqi'in menyebutkan jumlah mereka kurang lebih hanya 30-an orang saja. Itupun masih terbagi lagi menjadi tiga tingkatan.
Lalu selebihnya bukan ahli ijtihad, walaupun kedudukan mereka sangat mulia, bahkan mendapatkan gelar radhiyallahuanhum. Namun urusan diridhai Allah tidak otomatis membuat mereka jadi ahli ijtihad.
Walaupun para ulama hadits sepakat bahwa derajat para shahabat nabi itu adil, dalam arti mereka dianggap tidak mungkin berdusta tentang Rasulullah SAW, namun 'adalatush-shahabah ini tidak ada kaitannya dengan kapasitas sebagai mujtahid.
Sebab keahlian dalam berijtihad bukan sesuatu yang tiba-tiba datang begitu saja. Syarat untuk bisa disebut ahli ijtihad sangat berbeda dengan syarat status menjadi shahabat nabi yang terlalu amat sederhana. Syarat menjadi shahabat sebatas seorang muslim yang pernah bertemu langsung dengan Rasulullah SAW dalam keadaan nyata bukan mimpi, dan ketika wafat berstatus muslim.
Sedangkan untuk menjadi ahli ijtihad, tidak semua shahabat Nabi SAW punya kapasitas dan memenuhi syarat-syaratnya.
3. Pendapat Yang Pertengahan

Pendapat yang ketiga adalah pendapat yang berbeda dengan pendapat pertama dan kedua. Pendapat ini memilah hukum taqlid menjadi tiga macam. Dalam pandangan pendapat yang ketiga ini, taqlid itu tidak selamanya haram, tetapi ada juga taqlid yang halal atau bahkan wajib.
Semuanya kembali ke banyak faktor, baik pelakunya, bentuknya, maupun juga pihak yang ditaqlidi.
a. Taqlid Yang Haram
Taqlid akan menjadi haram hukumnya, apabila terjadi hal-hal yang membuatnya menjadi haram. Dan diantara penyebab keharaman taqlid adalah :
Pertama : Taqlidnya Mujtahid Mutlak
Seorang yang sudah mencapai derajat sebagai mujtahid mutlak dalam hukum syariah, haram baginya untuk bertaqlid kepada mujtahid yang lain. Sebab seorang mujatahid mutlak berada pada urutan tertinggi dari para mujtahid. Di bawahnya masih ada empat sampai lima level mujtahid.
Maka mujtahid mutlak diharamkan untuk bertaqlid dengan sesama mujtahid mutlak juga. Apalagi kepada mujtahid yang lebih rendah kedudukannya. Dia diwajibkan untuk berijtihad sendiri atas hukum yang diambilnya menjadi kesimpulan, karena kemampuannya yang di atas semua mujtahid. Dan tentu saja dia harus punya manhaj dan kaidah sendiri dalam menarik kesimpulan hukum.
Kalau ada seorang mujtahid tetapi masih menggantungkan pendapat kepada mujtahid lain, maka statusnya bukan lagi mujtahid mutlak.
Kedua : Taqlid Kepada Selain Mujtahid
Orang awam yang tidak punya ilmu dan kurang syarat untuk berijtihad, diharamkan untuk bertaqlid kepada mereka yang statusnya orang awam juga.
Maksudnya dalam hal ini, orang awam yang dia bertaqlid kepadanya hanya boleh berperan sebagai penyampai pesan, atau bisa disebut sebagai informan atas fatwa dari mujtahid yang sesungguhnya.
Al-Hulaimi dan Arruyani sebagaimana dinaql oleh Ibnu Shalat telah berkata : [5]
لاَ يَجُوزُ لِلْمُفْتِي أَنْ يُفْتِيَ بِمَا هُوَ مُقَلِّدٌ فِيهِ
Tidak boleh seorang mufti mengeluarkan fatwa, padahal dia hanya bertaqlid saja.
Dan penulis kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah yang mewakili mazhab Al-Hanabilah berkata tentang mufit yang bertalid : [6]
الْمُفْتِي يَجُوزُ أَنْ يُخْبِرَ بِمَا سَمِعَ إِلاَّ أَنَّهُ لاَ يَكُونُ مُفْتِيًا فِي تِلْكَ الْحَال وَإِنَّمَا هُوَ
Boleh bagi seorang mufti untuk memberi kabar dari apa yang didengarnya. Namun ketika itu dirinya bukanlah mufti tetapi mukhbir (pemberi kabar). Maka dia butuh mengabarkan
Ketika di sebuah madrasah atau pesantren, ada para kiyai dan ustadz yang mengajarkan hukum-hukum agama, maka posisi mereka bukan orang yang berhak untuk ditaqlidi. Sebab kiyai dan guru itu bukan mujtahid, sehingga haram hukumnya bagi murid dan siapapun untuk bertaqlid kepada mereka.
Lalu kalau tidak boleh taqlid kepada mereka, bagaimana kita bisa belajar dan tahu ilmu agama serta hukum-hukumnya?
Jawabannya adalah bahwa saat kita bertanya kepada kiyai, ustadz dan guru agama, posisi mereka hanya sekedar penyampai fatwa dari para mujtahid. Karena mereka punya akses kepada kitab-kitab fiqih dari para mujtahid, sehingga dapat dengan mudah untuk mengetahui fatwa-fatwa itu, untuk disampaikan lagi kepada murid-muridnya.
Maka para murid itu tidak bertaqlid kepada gurunya, melainkan bertaqlid kepada para mujtahid, lewat informasi dari guru mereka.
Ketiga : Taqlid Kepada Orang Sesat
Kalau taqlid kepada orang shalih tetapi tidak berilmu sudah tidak boleh, apalagi bertaqlid kepada orang yang sesat dalam agama, hukumnya tentu lebih haram lagi.
2. Taqlid Yang Wajib
Tidak yang wajib hukumnya adalah taqlidnya kita semua sebagai orang awam kepada para mujtahid yang memang memenuhi syarat ijtihad.
Kita sebagai orang awam, tentu tidak punya satu pun syarat untuk jadi mujtahid yang bisa diakui secara layak. Kalau satu syarat pun tidak kita miliki, apalagi semua syaratnya, tentu lebih tidak punya lagi.
Dengan keadaan sebagai orang awam seperti kita ini, maka haramlah atas kita untuk melakukan ijtihad fiqih, yaitu melakukan istimbath hukum dari sumber-sumber syariah Islam secara seenaknya sendiri.
Kalau pun kita melakukan ijtihad hukum, hasilnya pun tidak boleh dipakai oleh siapapun, baik oleh mujtahid ataupun untuk orang awam lainnya.
3. Taqlid Yang Boleh
Taklid yang hukumnya boleh adalah taklid yang tidak mengapa untuk dilakukan, tidak merupakan kewajiban, juga bukan merupakan keharaman.
Taklid yang hukumnya boleh berlaku bagi para mutjahid yang tidak sampai batas sebagai mujtahid mutlak. Mereka punya kapasitas dan punya semua syarat untuk berijtihad sendiri.
Namun karena level yang mereka miliki tidak atau belum sampai ke tingkatan mujtahid mutlak, maka mereka masih diperbolehkan untuk bertaqlid dan tidak berijtihad sendiri. Namun dalam hal-hal tertentu yang merupakan cabang dari suatu masalah, mereka pun dibolehkan untuk berijtihad sendiri, dimana hasilnya boleh jadi berbeda dengan ijtihad gurunya.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA 
[1] Ibnu Qudamah, Raudhatun Nadhir, jilid 2 hal .449
[2] Lisanul Arab hal. 3718
[3] Al-Mustashfa ma'a Muslim Ats-Tsubut, jilid 2 hal. 387
[4] Ibnu Qudamah, Raudhatun Nadhir, jilid 2 hal .450
[5] Fatawa Ibnu Shalah
[6] Al-Mughni, jilid 9 hal. 41

Wednesday 21 October 2015

Pertanyaan dan Jawaban Seputar Bidah

Orang-orang yang tidak sependapat dengan amalan warga  NU biasanya membidahkan amalan warga Nahdliyin dengan dalil sebagai berikut:

  • Barangsiapa menimbulkan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kita yang bukan dari ajarannya maka tertolak. (HR. Bukhari)

  •  Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah, dan sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad, sedangkan seburuk-buruk urusan agama ialah yang diada-adakan. Tiap-tiap yang diada-adakan adalah bid'ah, dan tiap bid'ah adalah sesat, dan tiap kesesatan (menjurus) ke neraka. (HR. Muslim)

  • Apabila kamu melihat orang-orang yang ragu dalam agamanya dan ahli bid'ah sesudah aku (Rasulullah Saw.) tiada maka tunjukkanlah sikap menjauh (bebas) dari mereka. Perbanyaklah lontaran cerca dan kata tentang mereka dan kasusnya. Dustakanlah mereka agar mereka tidak makin merusak (citra) Islam. Waspadai pula orang-orang yang dikhawatirkan meniru-niru bid'ah mereka. Dengan demikian Allah akan mencatat bagimu pahala dan akan meningkatkan derajat kamu di akhirat. (HR. Ath-Thahawi)

  • Kamu akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukinya. Para sahabat lantas bertanya, "Siapa 'mereka' yang baginda maksudkan itu, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Orang-orang Yahudi dan Nasrani." (HR. Bukhari)

  • Tiga perkara yang aku takuti akan menimpa umatku setelah aku tiada: kesesatan sesudah memperoleh pengetahuan, fitnah-fitnah yang menyesatkan, dan syahwat perut serta seks. (Ar-Ridha)

  • Barangsiapa menipu umatku maka baginya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Ditanyakan, "Ya Rasulullah, apakah pengertian tipuan umatmu itu?" Beliau menjawab, "Mengada-adakan amalan bid'ah, lalu melibatkan orang-orang kepadanya." (HR. Daruquthin dari Anas).

Setelah kita membaca hadits-hadits di atas Coba saudara cermati lagi. Telah kami terangkan bahwa kami umat Islam Ahlussunnah Wal Jamaah sangat menolak bid'ah dhalalah, persis dengan hadits2 di atas, yaitu menolak perilaku menciptakan ibadah baru yang bertentangan dengan ajaran Syariat Islam, contohnya pelaksanaan Doa Bersama Muslim non Muslim, karena perilaku itu bertentangan dengan Alquran, falaa taq'uduu ma'ahum hatta yakhudhuu fi hadiitsin ghairih (janganlah kalian duduk dengan mereka -non muslim dalam ritualnya- hingga mereka membicarakan pembahasan lain -yang bukan ritual). Serta dalil lakum diinukum wa liadiin, bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Jadi jelaslah, perilaku Doa Bersama Muslim non Muslim ini ini jelas-jelas bid'ah dhalalah, tidak ada tuntunannya sedikitpun di dalam Islam. Tetapi tentang bid'ah hasanah semisal ritual tahlilan atau kirim doa untuk mayit, pasti tetap kami laksanakan, karena tidak bertentangan dengan syariat Islam,

bahkan ada perintahnya baik dari Alquran maupun Hadits. Perlu diketahui, yang dimaksud ritual Tahlilan itu, adalah dimulai dengan

  • Mengumpulkan masyarakat untuk hadir di majlis dzikir dan taklim, tidakkah ini sunnah Nabi? Hadits masyhur : idza marartum bi riyaadhil jannah farta'uu, qaluu wamaa riyadhul jannah ya rasulullah? Qaala hilaqud dzikr (Jika kalian mendapati taman sorga, maka masuklah, mereka bertanya, apa itu (riyadhul jannah) taman sorga, wahai Rasulullah? Beliau menjawab : majlis dzikir).

  •  Membaca surat Alfatihah, tidakkah baca Alfatihah ini perintah syariat ?
  • Baca surat Yasin, tidakkah baca Yasin juga perintah syariat ?

  • Baca Al-ikhlas, Al-alaq-Annaas, tidakkah Allah berfirman faqra-u ma tayassara minal quran (bacalah apa yang mudah/ringan dari ayat Alquran).

  • Baca subhanallah, astaghfirullah, shalawat Nabi, kalimat thayyibah lailaha illallah muhammadur rasulullah.

  • Doa penutup.

  • Lantas tuan rumah melaksanakan ikramud dhaif, menghormati tamu sesuai dengan kemampuannya.

 Tentunya dalam masalah ini sangat bervariatif sesuai dengan tingkat kemampuannya, tak ubahnya saat Akhi/keluarga Akhi melaksnakan pernikahan dengan suguhan untuk tamu, yang disesuaikan dengan kemampuan tuan rumah.

Nah, jika amalan2 ini dikumpulkan dalam satu tatanan acara, maka itulah yang dinamakan tahlilan, sekalipun Nabi tidak pernah mengamalkan tahlilan model Indonesia ini, namun setiap komponen dari ritual tahlilan adalah mengikuti ajaran Nabi saw. maka yang demikian inilah yang dinamakan dengan BID'AH HASANAH.

Siapa kira-kira yang memulai Bid’ah Hasanah ini? Tiada lain adalah Khalifah ke dua, Sahabat Umar bin Khatthab, tatkala beliau tahu bahwa Nabi mengajarkan shalat sunnah Tarawih 20 rakaat di bulan Ramadhan. Namun Nabi saw. melaksanakannya di masjid dengan sendirian, setelah beberapa kali beliau lakukan, lantas ada yang ikut jadi makmum, kemudian Nabi melaksnakan 8 rakaat di masjid, selebihnya dilakukan di rumah sendirian. Demikian pula para sahabatpun mengikuti perilaku ini, hingga pada saat kekhalifahan Sahabat Umar, beliau berinisiatif mengumpulkan semua masyarakat untuk shalat Tarawih dengan berjamaah, dilaksanakan 20 rakaat penuh di dalam masjid Nabawi, seraya berkata : Ni'matil bid'atu haadzihi (sebaik-baik bid’ah adalah ini = pelaksanaan tarawih 20 rakaat dengan berjamaah di dalam masjid sebulan penuh). Bid'ahnya sahabat Umar ini terus berjalan hingga saat ini, malahan yang melestarikan adalah tokoh-tokoh Saudi Arabia  seperti kita lihat sampai saat ini bahwa di Masjidil Haram tarawih berjama’ah 20 rokaat sebulan penuh, sekaligus dengan mengkhatamkan Qur’an. Hal ini sama lestarinya dengan bid'ahnya para Wali songo yang mengajarkan tahlilan di masyarakat Muslim Indonesia. Jadi baik Sahabat Umar dan pelanjut shalat tarawih di masjid-masjid di seluruh dunia, maupun para Walisongo dengan para pengikutnya umat Islam Indonesia, adalah pelaku BID'AH HASANAH, yang dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebut : Man sanna fil Islami sunnatan hasanatan, fa lahu ajruha wa ajru man amila biha bakdahu min ghairi an yangkusha min ujurihim syaik (Barangsiapa yang memberi contoh sunnatan hasanatan (perbuatan baru yang baik) di dalam Islam (yang tidak bertentangan dengan syariat), maka ia akan mendapatkan pahalanya dan kiriman pahala dari orang yang mengamalkan ajarannya, tanpa mengurangi pahala para pengikutnya sedikit pun.

Jadi sangat jelas baik sahabat Umar maupun para Wali songo telah mengumpulkan pundi-pundi pahala yang sangat banyak dari kiriman pahala umat Islam yang mengamalkan ajaran Bid'ah Hasanahnya beliau-beliau itu. Baik itu berupa Bid'ahnya Tarawih Berjamaah maupun Bid'ahnya Tahlilan dan amalan baik umat Islam yang lainnya.

CONTOH-CONTOH BID’AH HASANAH

Setelah baginda Nabi saw. wafat pun amal-amal perbuatan baik yang baru tetap dilakukan. Umat islam mengakuinya berdasar dalil-dalil yang shahih. Simak berbagai contoh berikut,
    
1.   Pembukuan al Qur’an. Sejarah pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an. Bagaimana sejarah penulisan ayat-ayat al Qur’an. Hal ini terjadi sejak era sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit ra. Kemudian oleh sahabat Ustman bin ‘Affan ra. Jauh setelah itu kemudian penomoran ayat/ surat, harakat tanda baca, dll.

2.   Sholat tarawih seperti saat ini. Khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih berma’mum pada seorang imam. Pada perjalanan berikutnya dapat ditelusuri perkembangan sholat tarawih di masjid Nabawi dari masa ke masa

3.   Modifikasi yang dilakukan oleh sahabat Usman Bin Affan ra dalam pelaksanaan sholat Jum’at. Beliau memberi tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at.

4.   Pembukuan hadits beserta pemberian derajat hadits shohih, hasan, dlo’if atau ahad. Bagaimana sejarah pengumpulan dari hadits satu ke hadits lainnya. Bahkan Rasul saw. pernah melarang menuliskan hadits2 beliau karena takut bercampur dengan Al Qur’an. Penulisan hadits baru digalakkan sejak era Umar ibn Abdul Aziz, sekitar abad ke 10 H.

5.   Penulisan sirah Nabawi. Penulisan berbagai kitab nahwu saraf, tata bahasa Arab, dll. Penulisan kitab Maulid. Kitab dzikir, dll

6.   Saat ini melaksanakan ibadah haji sudah tidak sama dengan zaman Rasul saw. atau para sahabat dan tabi’in. Jamaah haji tidur di hotel berbintang penuh fasilitas kemewahan, tenda juga diberi fasiltas pendingin untuk yang haji plus, memakai mobil saat menuju ke Arafah, atau kembali ke Mina dari Arafah dan lainnya.

7.   Pendirian Pesantren dan Madrasah serta TPQ-TPQ yang dalam pengajarannya dipakai sistem klasikal.

dan masih banyak contoh-contoh lain.